MASYARAKAT sipil menyoroti ruang untuk berpendapat dan kebebasan sipil semakin menyempit pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan dari catatan YLBHI terdapat 351 kasus pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi seperti pembubaran aksi massa, ataupun serangan di ruang digital setelah masyarakat menyuarakan pendapatnya. Menurutnya, pelanggaran kebebasan sipil bukan hanya dialami masyarakat sipil ataupun aktivis, tapi juga akademisi dan jurnalis.
Senada, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito mengatakan kebebasan pers di Indonesia ada dalam posisi stagnan. Reporters Without Borders (RSF), lembaga yang memantau kebebasan pers merilis daftar indeks kebebasan pers dunia 2023, skor Indonesia pada 2014-2023 berada pada kisaran 45-63 atau belum merdeka. Skor itu menandakan masih cukup terkekangnya kebebasan pers Indonesia.
Baca juga: Pemerintahan Jokowi Disebut Gagal Lakukan Reformasi Politik untuk HAM
“Walaupun sudah memiliki UU Pers yang dibuat saat presidennya Pak Habibie, di era Jokowi ternyata stagnan kemerdekaan persnya,” ujarnya dalam diskusi diskusi bertajuk “Kemunduran Demokrasi dan Pembajakan Konstitusi” yang diselenggarakan daring dan luring, di Jakarta, Minggu, (10/12).
Sasmito menjelaskan sejumlah indikator yang menjadi ukuran dalam menilai kebebasan pers. Dari segi politik, ujarnya, di beberapa wilayah seperti Papua, jurnalis masih menerima stigma.
Baca juga: Jumlah Kasus Pemidanaan Melalui UU ITE Paling Masif di Era Jokowi
“Dianggap pro dengan Papua Merdeka dan jurnalis asing masih kesulitan masuk ke Papua,” tutur Sasmito.
Lalu, dari segi hukum tercatat banyak undang-undang yang tidak pro kemerdekaan pers seperti UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
“Di Aceh masih ada undang-undang tentang Pemerintah Provinsi Aceh yang memberikan pada pemerintah daerah untuk mengatur pers,” imbuhnya.
Lalu dari sisi indikator ekonomi, Sasmito mengatakan ketika pers mengalami kesulitan untuk bertahan, pemerintah tidak memberikan solusi seperti insentif untuk media. Selain itu untuk indikator dari segi keamanan, sambung Sasmito, AJI mencatat kekerasan yang dialami jurnalis cukup tinggi. Data AJI sejak Oktober 2014 sampai Desember 2023 terdapat 584 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“Ini murni kasus-kasus yang berkaitan dengan pemberitaan,” ucap Sasmito.
Kekerasan paling banyak dialami jurnalis, ujar dia, adalah kekerasan fisik, disusul ancaman /teror dan intimidasi. Salah satunya, terang Sasmito yang dialami jurnalis senior di Papua Victor Mambor yang mengalami teror bom di dekat rumahnya. Sasmito juga menyampaikan bahwa aktor pelaku kekerasan terhadap jurnalis paling banyak dilakukan oleh personil polisi sebanyak 187 kasus, kemudian oleh warga sebanyak 116. Sedangkan pelaku TNI hanya 25 kasus. (Ind/Z-7)