AZEC(dok.MI)
KELOMPOK masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari WALHI, JATAM, KRuHA, CELIOS dan Oil Change International menyampaikan keprihatinan mereka terhadap inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dipimpin Jepang di bawah Strategi GX (Green Transformation) yang hendak diimplementasikan di Indonesia. Menurut mereka perjanjian itu solusi palsu guna memperpanjang penggunaan energi fosil dan menambah utang negara.
AlFarhat Kasman dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan berbagai proyek, perjanjian dan kerjasama dalam AZEC yang akan dilaksanakan di Indonesia mempromosikan pendekatan dan teknologi yang dapat memperpanjang penggunaan energi fosil. Itu dinilai tidak bisa memberikan kontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mencapai target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris dan tidak membantu memerangi perubahan iklim.
Baca juga : Transisi Energi yang Lambat Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
“Baru-baru ini JICA berencana untuk mengerjakan Rencana Induk untuk Proyek Manajemen Transisi Energi di Indonesia di mana kata-kata seperti CCUS, co-firing dengan Hidrogen, Amonia, Biomassa, serta LNG dimunculkan di sana, yang menunjukkan upaya dalam AZEC untuk memperpanjang penggunaan energi fosil,” paparnya melalui keterangan tertulis, Jumat (23/8).
Upaya untuk terus memperpanjang umur penggunaan energi fosil di Indonesia, terang dia, akan membawa berbagai ancaman bagi lingkungan dan komunitas.
Baca juga : Utang Indonesia Berpotensi Tembus Rp10 Kuadriliun di 2025
Sementara itu Bhima Yudhistira dari CELIOS menggaris bawahi risiko kegagalan utang atau debt distress akibat implementasi AZEC di Indonesia.
Skema AZEC yang berbentuk pinjaman, menurut Bhima akan memperburuk kondisi fiskal Indonesia yang sedang dalam performa buruk.
“Hal ini dilihat dari kinerja pengelolaan utang negara yang tidak prudent dan terjebak pada rasio utang yang tidak aman,” paparnya.
Baca juga : Pengamat: RAPBN 2025 Terlalu Ambisius
Rasio utang terhadap pendapatan negara di Indonesia, sambung dia, telah mengalami pembengkakan, dengan utang sejumlah Rp2.609 triliun tahun 2014, meningkat menjadi Rp8.850 triliun 2024, dan pendapatan negara sebesar Rp1.550 triliun tahun 2014, menjadi Rp2.802 triliun tahun 2024 .
“Sehingga, rasio utang terhadap pendapatan negara meningkat dari 168,27% menjadi 315,81%, menyebabkan utang tidak produktif.” jelas Bhima.
Lebih lanjut Bhima mengingatkan bahwa di tengah proyeksi melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5% yang salah satunya diakibatkan ancaman krisis iklim, rasio pajak yang masih di bawah 11%, dan fenomena deindustrialisasi, sebaiknya pemerintah lebih hati-hati dan cermat dalam menerima tawaran dari negara maju, agar tidak berpotensi menimbulkan debt distress seperti gagal bayar utang atau restrukturisasi utang yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. (H-3)
Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan
dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor :