Babak Baru Pengujian Konstitusional oleh MK

Jakarta

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat capres/cawapres membikin residu berkepanjangan terhadap sejumlah lini tatanan. Yang tak kalah penting, putusan tersebut berhasil membuka babak baru pengujian konstitusional norma oleh MK.

Menyusul gejolak politik lolosnya Gibran sebagai kontestan Pemilu 2024, sejumlah permohonan diajukan ke MK. Secara garis besar, permohonan tersebut menyoroti adanya kecacatan formil dalam proses pengambilan putusan yang dilakukan oleh hakim dalam perkara a quo. Sebagai contoh, hal tersebut dapat dilihat dari permohonan 141 dan 145/PUU-XXI/2023.

Meski terdapat perbedaan di antara dua perkara itu—perkara 141 uji materil, sedangkan perkara 145 uji formil—perkara 141 dan 145 secara garis besar berusaha mengoreksi ulang tentang proses pemeriksaan hakim yang tidak fair, adanya kesalahan pembacaan terhadap kualifikasi dan komposisi argumentasi hakim, adanya conflict of interest antara hakim dengan perkara yang diadili, serta adanya intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Secara tidak langsung, Pemohon di sini berusaha mendalihkan, “ketika suatu proses formil didapati kecacatan, maka produk materi menjadi delegitimasi.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Paradoks dari kondisi yang demikian tampak dari putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan adanya pelanggaran etik hakim dalam perumusan Putusan 90. Tetapi, MKMK tetap mengakui adanya kekuatan dan keabsahan dari norma yang dihasilkan dari putusan tersebut. Dalih yang disampaikan, ranah kompetensi MKMK terbatas pada wilayah etik perilaku hakim, dan tidak menyentuh materi substansi putusan. Bagaimana mungkin, proses formil dinyatakan cacat, sedangkan produk materi tetap berkekuatan hukum?

Menjawab diskursus tersebut, perkara 141 dan 145 menempuh babak baru pengujian norma kepada MK. Mereka berusaha mengonfirmasi putusan MKMK yang menyatakan adanya pelanggaran etik dalam proses formil, dapat ditindaklanjuti/memiliki impact terhadap produk materiil yang dihasilkan. Dalam taraf ini, Para Pemohon meminta MK untuk membatalkan adanya produk putusan yang dirumuskan oleh MK sendiri.

Babak Baru

Pada kondisi ini, MK memasuki babak baru pengujian (unprecedented). Mereka dituntut menguji kembali produk putusan sendiri akibat adanya kecacatan dalam proses perumusannya. Di samping itu, instrumen dari putusan MK itu sendiri bersifat final dan mengikat (final and binding) yang secara ekspresiss verbis dilindungi dalam Pasal 24C UUD 1945. MK menjadi lembaga pertama dan terakhir yang mengadili suatu konstitusionalitas norma dalam undang-undang. Bahkan, norma yang telah diputus itu hanya dapat diuji lagi ketika ditemukan suatu fakta hukum baru (novum) atau terdapat batu uji berbeda dari UUD 1945.

Hal yang menarik dari pengujian ini adanya suatu analogis yang menempatkan putusan MK sebagai bagian dari pembentukan norma juga melewati adanya proses pembentukan layaknya undang-undang. Putusan 90 jelas menempatkan MK pada posisi pembuat norma (positive legislator). Sebagai pembuat norma, MK juga terikat dengan sejumlah kaidah formil sehingga produk norma tersebut memiliki legitimasi hukum. Maka, fakta tersebut menjadi dasar hukum/pintu masuk untuk menguji konstitusionalitas putusan MK yang menghendaki adanya norma baru di dalamnya.

Aturan yang menjadi dasar syarat formil dari suatu absahnya putusan di antaranya Pasal 17 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan sebagaimana termuat dalam ayat (5) dan ayat (6) memastikan subjektivitas hakim tidak memiliki kepentingan—secara langsung maupun tidak langsung—untuk memeriksa norma pasal yang diujikan. Hakim berkepentingan diminta untuk mundur dengan sendirinya atau melalui permintaan pihak untuk ikut serta menangani perkara tersebut. Kendatipun ketentuan tersebut tidak diindahkan, maka produk putusan yang dihasilkan dapat dinyatakan tidak sah keberlakuannya.

Tantangan dan Problem

Sejumlah permohonan yang meminta MK menguji kembali produk putusannya sendiri menjadi babak baru sekaligus tantangan tersendiri bagi kekuasaan kehakiman MK. Pasalnya, hal ini menyangkut konsistensi norma dan koeksistensi instrumental kelembagaan MK sebagai penafsir konstitusi (the sole judicial interpreter of constitution). Pada posisi ini MK dituntut untuk menafsirkan sejumlah ketentuan yang menjadi instrumen kelembagaan MK dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pengujian konstitusionalitas suatu norma.

Dalam posisi tertentu, bisa saja MK dapat menempatkan diri di luar dari pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman. Artinya, ketentuan dalam pasal tersebut hanya berlaku bagi hakim di pengadilan umum, seperti Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya. Posisi MK dalam konteks ini berada pada pengujian norma abstrak sehingga hakim yang memeriksa tidak dapat dikualifikasi atau diidentifikasi memiliki kepentingan terhadap ketentuan norma di dalamnya.

Tetapi, hal tersebut hanya berkenaan dengan tafsir instrumental yang mendogmatisasi cara berhukum dewasa ini. Hakim harus lebih berani dalam membuka ruang tafsir berkemajuan terhadap dinamika kekinian. Untuk menjaga marwah MK dengan instrumen putusan yang mutlak, hakim bisa saja berlindung di balik suatu norma hukum. Tetapi, masyarakat hukum dewasa ini dapat menangkap fenomena itu sebagai suatu rangkaian politik dalam agenda pelemahan konstitusi.

MK harus berani mengambil suatu kebaruan berhukum dengan beranjak dari kungkungan dogma pada esensi norma. Perumusan Putusan 90 kemarin dengan mudah ditangkap sebagai suatu agenda political judicialization kendatipun dengan telanjang mata. Tetapi, terdapat pesimisme berhukum jika mengingat adanya potensi ingkar terhadap ketentuan Pasal 17 UU Kehakiman. Rasa-rasanya, instrumen berhukum saat ini pun tidak cukup kuat untuk menjerat gerakan politik melalui ketentuan dalam pasal-pasal.

Pada tahap inilah dibutuhkan cara berhukum progresif hakim yang mampu menangkap format norma melampaui jerat pasal-pasal yang ada. Hukum ada dalam rumusan ide yang senantiasa bergerak dalam optik dan dinamik pikiran (Satjipto Rahardjo, 2003). Mencerna hukum dalam pasal-pasal (tertulis) semata, akan menjerat seorang hakim pada nalar kegagalan. Maka menjadi tepat suatu aksioma bahwa hukum tertulis itu hadir dalam keadaan cacat sejak dilahirkan. Pada akhirnya, hukum dapat disempurnakan melalui tafsir-tafsir yang hidup beriringan dengan kehendak masyarakatnya.

A Fahrur Rozi pengamat politik dan ketatanegaraan

(mmu/mmu)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *