Suara.com – Lembaga Penelitian dan Advokasi, Centra Initiative mengkritisi komitmen calon presiden (capres) dalam penuntasan kasus HAM masa lalu dan kekerasan di Papua dalam debat Capres Selasa (12/12/2023) kemarin.
Meski begitu, Centra Initiative mengemukakan bahwa capres nomor urut 1 dan 3, yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo dianggap menunjukkan komitmen yang tinggi.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf mengatakan, Anies dan Ganjar juga menyampaikan pandangan yang baik terkait isu reformasi hukum, khususnya mengembalikan negara kekuasaan menjadi negara hukum, dan jaminan kebebasan sipil serta penyelesaian konflik secara damai.
“Dalam konflik Papua, pasangan Ganjar dan pasangan Anies cukup jelas memaparkan bahwa pilihan penyelesaian pendekatan konflik Papua diambil dengan jalan dialog,” ujar Araf kepada wartawan, Rabu (13/12/2023).
Apalagi, Ganjar sendiri sudah berjanji akan menemukan makam para aktivis yang hilang sebagai pertanggungjawaban kepada keluarga korban. Begitu juga dengan Anies menentang keras adanya politisasi di lembaga hukum.
Sementara, Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto dianggap lebih mengedapkan dua pendekatan yakni pendekatan penguatan aparat dan penegakan hukum.
Padahal, menurutnya, sudah berulang kali pendekatan penguatan aparat keamanan sebagai jalan penyelesaian konflik di Papua.
“Tetapi yang terjadi konflik tidak selesai dan yang ada adalah kekerasan dan pelanggaran HAM. Yang itu seringkali dilakukan dan gagal untuk dieksekusi,” ucapnya.
Memang, kata Araf, dalam suatu wilayah konflik, keterlibatan eksternal selalu terjadi. Namun, persoalan internal dalam negeri juga menjadi faktor penentu kenapa konflik itu terjadi.
“Jadi problem konflik di Papua itu ada di Indonesia, konflik berlarut ini terjadi karena pemerintah gagal menangani kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Papua dan gagal menyelesaikan konflik lainya,” jelasnya.
Ia pun menilai Prabowo tidak memahami akar dari kpnflik Papua. Sebab, setidaknya diperlukan empat pendekatan, yaitu faktor sejarah, pemerataan ekonomi, politik dan tidak ada keadilan saat pelanggaran HAM terjadi.
“Masyarakat Papua marah karena tidak ada pemenuhan atas peradilan yang fair kepada para korban kekerasan,” jelasnya.
“Pendekatan yang dilakukan oleh paslon nomor dua kurang tepat dengan hanya melihat persoalan Papua dari sudut pandang ekonomi dan eksternal, mereka belum bisa memahami faktor penyebab konflik Papua secara komperhensif,” ujarnya.